"Belajar adalah ibadah", kalimat ini sudah umum diketahui oleh umat Islam. Tetapi tidak ada ruginya umat terus diingatkan bahwa belajar itu memang ibadah. Karena terkadang kita mengetahui bahwa belajar adalah ibadah tetapi tidak mampu memahami apa yang dimaksud dengan ungkapan tersebut. Di saat pandemi seperti saat ini belajar menjadi aktivitas yang mendapatkan perhatian sangat serius sehingga pembelajaran meskipun tidak dilaksanakan di Sekolah tetap berlangsung di rumah siswa masing-masing. Sebagai sebuah ibadah apakah belajar harus dilaksanakan di sekolah? Atau bisa dilakukan di tempat lain. Apakah belajar harus berkaitan dengan tugas-tugas sekolah? Atau bisa berjalan tanpa berkaitan dengan tugas sekolah. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas diperlukan rumusan terkait definisi dan hubungan antara ibadah, belajar, sekolah, dan rumah.
Ibadah
Para ulama merumuskan bahwa yang disebut dengan ibadah itu adalah proses mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Menurut Imam Ibnu Taimiyah ibadah adalah satu nama yang mencakup keseluruhan apa pun yang Allah sukai dan ridhai, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa makna ibadah itu sangat luas. Mencakup seluruh aktifitas kehidupan manusia. Selama Allah ridha maka perbuatan apa pun adalah ibadah. Oleh karena itu ibadah tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah (ritual) saja seperti sholat, zakat, shaum dan Haji. Ibadah mencakup juga aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ilmu pengetahuan dan lainnya.
Dalam surat Adz Dzariyat ayat 56 Allah Ta'ala berfirman; "Tidaklah aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." Jadi, tugas hidup manusia itu beribadah kepada Allah. Taat, tunduk, sujud, menyembah hanya kepada Allah. Karena tugas hidup kita adalah ibadah maka segala aktifitas hidup kita harus dalam rangka beribadah kepada Allah. Termasuk belajar yang merupakan bagian dari kehidupan mestilah belajar itu menjadi dan dalam rangka ibadah.
Belajar
Islam sebagai agama yang komprehensif (sempurna) tentu saja mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Bahkan pendidikan adalah salah satu aspek ajaran Islam yang sangat penting. Banyak ayat dan hadits berbicara tentang pentingnya pendidikan. Islam menekankan umatnya agar berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya. Menuntut ilmu adalah fardhu ain. Tidak bisa diwakilkan. Setiap umat Islam yang mukallaf memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena Islam menuntut umat Islam beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan dengan berdasarkan ilmu. Betapa pentingnya ilmu dan belajar, sehingga wahyu Allah yang pertama saja berkaitan dengan ilmu. "Iqro!"
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali membagi ilmu kepada ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain adalah ilmu-ilmu yang pokok. Ilmu yang wajib diajarkan dan dikuasai oleh semua umat Islam atau siswa muslim tanpa terkecuali seperti ilmu tentang Tauhid, ibadah, akhlak, bahasa arab, siroh nabawiyah dan lain-lain. Sementara ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang tidak wajib semua muslim mempelajari dan menguasainya. Cukup sebahagian saja karena hal itu membutuhkan minat, bakat dan ketekunan tersendiri seperti dalam bidang politik, ekonomi, teknologi, medis, militer dan sebagainya. Meskipun bukan kewajiban individu, harus ada muslim yang menguasai bidang-bidang tersebut untuk kepentingan umat Islam secara umum.
Tetapi ada satu hal yang terkadang salah kaprah pemahaman umat Islam tentang belajar yaitu bahwa belajar dan memperoleh pendidikan itu harus di sekolah. Sekolah yang ada gedung, kelas, kepala sekolah, guru, kurikulum, jadwal, seragam dan lain-lain. Sehingga ada ungkapan bagi yang dianggap kurang pintar dengan istilah "tidak makan bangku sekolahan". Sejatinya apa yang dimaksud dengan sekolah?
Sekolah
Sekolah adalah salah satu sarana pembelajaran bagi yang mau menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu. Jika sekolah dimaknai sebagai sarana belajar maka belajar dimana pun dan kapan pun itu adalah sekolah. Sekolah yang tidak dipahami sebagaimana disebutkan di atas, sebentuk bangunan dengan segala aksesorisnya yang dihadirkan untuk mendapatkan ijazah dan atau mendapatkan pekerjaan.
Satu hal yang harus diwaspadai adalah apa yang diistilahkan oleh Dr. Adian Husaini dengan "virus sekolahisme". Yaitu pemahaman bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan di sekolah. Di tempat lain selain sekolah tidak dianggap belajar. Bila lulus sekolah tidak lagi mau belajar karena memahami belajar hanya saat bersekolah. Menganggap kalau sudah lulus sekolah berarti sudah tamat belajar dan tidak perlu belajar lagi. Padahal jelas dalam agama, belajar itu dari mulai dilahirkan sampai diwafatkan.
Di zaman Rasulullah dan para Sahabat tidak ada sekolah (formal), tidak ada kampus, tidak ada tempat les dan bimbel. Tetapi di zaman itu, disebut oleh Rasulullah sebagai zaman terbaik. Zaman keemasan Islam. Generasi didikan beliau adalah generasi yang sangat unggul, cerdas, dan kuat. Mereka mampu menaklukkan Romawi dan Persia. Menguasai 2/3 dunia, dari peradaban mereka yang awalnya terbelakang, miskin dan tidak diperhitungkan. Dengan Islam dan didikan terbaik Rasulullah, mereka menjadi generasi "Khairu Ummah".
Betapa pentingnya kita meneladani "Madrasah" Rasulullah, agar apabila dalam kondisi sesulit apa pun dan tantangan sekuat apa pun mampu melahirkan generasi unggulan. Inilah tantangan kita para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk merumuskan model pendidikan Islam terbaik meskipun pembelajaran dilakukan tidak sebagaimana biasanya di kala pandemi melanda.
Rumah
Rumah dalam bahasa arab disebut dengan "Bait". Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, "Baiti Jannati" Rumahku adalah Surgaku. Rumah kadang disebut dengan "Sakan" atau tempat tinggal. Kita sering mendengar kata sakinah yang artinya tentram, nyaman, damai. Artinya rumah harus jadi tempat yang nyaman dan tentram bagi penghuninya. Maka doa yang sering kita lantunkan bagi pengantin baru adalah doa semoga kehidupan rumah tangga mereka sakinah, mawaddah dan rahmah (samara).
Di rumah, "Al Ummu madrosatul ula" ibu adalah madrasah/sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana dengan bapak? Bapak adalah kepala sekolahnya. Kepala sekolah di madrasah ibu. Tidak dapat dibenarkan ada pembagian tugas antara bapak dengan ibu bahwa bapak tugasnya semata mencari uang dan ibu mendidik anak di rumah. Bapak tetap punya kewajiban mendidik anak. Mendidik anak bukan hanya kewajiban ibu. Karena sebenarnya tugas bapak bukan mencari uang tetapi menjemput rezeki yang memang sudah ada jatahnya dari Allah.
Banyak hikmah dan pelajaran kita dapatkan dari musibah covid-19 yang berlangsung sampai saat ini. Satu pelajaran paling mendasar adalah pendidikan kembali ke khitthahnya. Kembali ke pangkalnya yaitu 'dikembalikan' kepada bapak ibunya sendiri. Karena pada hakikatnya tugas mendidik anak adalah kewajiban pokok bapak dan ibunya. Adapun keberadaan sekolah dan guru hanya untuk membantu tugas orangtua mendidik anak. Itulah kenapa Allah memerintahkan setiap muslim untuk memiliki ilmu yakni agar mereka mampu mendidik dan mengajarkan ilmu kepada yang lain terutama kepada anak-anaknya. Menjadi pelajaran bagi orangtua bagaimana beratnya mendidik anak. Bayangkan guru yang setiap hari mendidik bukan hanya satu anak tapi belasan bahkan puluhan anak dengan beragam karakternya. Ke depan diperlukan kerjasama dan komunikasi yang lebih substantif antara orangtua dan sekolah dalam menunaikan kewajiban bersama tersebut.
Sebagaimana dijelaskan di atas, belajar adalah perintah dan kewajiban agama. Oleh karena itu belajar adalah ibadah. Di sekolah atau di rumah juga dimana pun belajar tetap ibadah. Ibadah yang akan mendatangkan keridhaan dan kecintaan Allah. Ridha dan cinta Allah akan hadir apabila proses pembelajaran memenuhi syarat yang ditetapkan oleh syariat. Dalam sabda-sabdanya, Rasulullah senantiasa mengingatkan agar aktifitas hidup kita selalu ikhlas dan meneladani sunnah beliau. Belajar karena Allah dan sesuai dengan cara Rasulullah akan diterima oleh Allah sebagai amal shalih.
Apa pun bentuk aktifitas kita, dua hal itu harus terpenuhi; ikhlas hanya berharap ridha Allah dan ittiba' kepada Rasulullah. Bagaiman ikhlas dalam belajar? Niatkanlah kita belajar atau sekolah karena hanya berharap Allah ridha kepada kita. Niatkan belajar untuk menuntut ilmu karena itu yang Allah perintahkan. Niat belajar jangan karena untuk mendapatkan nilai bagus, juara kelas, ijazah dan agar diterima di sekolah lanjutan favorit. Niat-niat seperti itu merusak amal. Tetap niatkan karena Allah. Adapun kemudian ternyata nilai kita bagus, jadi juara kelas itu adalah bonus dari Allah. Jadi kita sudah berpahala karena niat belajarnya benar, mendapatkan bonus pula berupa nilai bagus dan juara kelas.
Bagaimana meneladani cara belajar Rasulullah? Kita tahu bahwa beliau adalah orang yang ikhlas, jujur dan amanah. Dipastikan bila beliau belajar tidak mungkin salah niat, mustahil nyontek dan tidak mungkin malas-malasan serta menunda-nunda tugas. Jika kita bisa meneladani itu semua, dimana pun kita belajar insya Allah bernilai ibadah yang mendatangkan pahala dan keridhaan Allah. Apalagi yang didambakan oleh setiap orang yang beriman kecuali keridhaan Allah? Dan keridhaan Allah itu hadir di saat kita mampu belajar sesuai dengan niat dan cara yang disukai oleh-Nya. So, tidak ada alasan untuk malas belajar kan?
Tags:
(0) Comments