MENITI JALAN SURGA

MENITI JALAN SURGA

Manusiawi, jika setiap insan merindukan Surga. Setiap orang pasti memimpikan hal tersebut. Untuk mewujudkan tujuan itu manusia memiliki cara dan strategi masing-masing. Cara inilah yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Karena, meskipun dengan tujuan yang sama,  terkadang cara yang ditempuh setiap orang untuk mewujudkan hal tersebut berbeda-beda. Salah satu cara umum yang banyak ditempuh seseorang untuk menuju Surga adalah dengan pendidikan. Wajar saja, karena pendidikan merupakan pondasi utama bagi setiap orang untuk mewujudkan berbagai impian mereka termasuk impian Surga.

Dalam meniti jalan Surga dambaan dibutuhkan pengorbanan. Untuk mendapatkan Surga dibutuhkan usaha yang di dalamnya dituntut pula adanya pengorbanan. Dari pengorbanan itulah kemudian terbentuk jiwa yang kuat dan benar-benar siap untuk mendapat surga sebagai hasil dari jerih payah yang telah dilakukan. 

Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam proses perubahan dan pertumbuhan manusia. Perubahan dan pertumbuhan kepada yang lebih baik membutuhkan pendidikan yang “baik” pula. Pendidikan yang “baik” akan menghasilkan “output” yang baik. Untuk misi membangun Umat Islam, salah satu tugas yang diemban oleh Rasulullah saw adalah ta’lim (mendidik).Firman Allah berbunyi: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah)”. (QS. Al Jumu’ah: 2).

Upaya untuk menghasilkan pribadi-pribadi Muslim unggulan merupakan tanggungjawab kita semua. Merupakan tanggungjawab setiap pihak, apakah lembaga pendidikan, keluarga orang tua, masyarakat, dan seterusnya. Orang tua adalah pihak yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak mereka agar menjadi pribadi-pribadi unggul. Anak yang saleh akan menjadi amal jariyah bagi kedua orang tuanya. Betapa besar pahala yang diraih lantaran kesalehan atau bahkan kontribusi anak bagi masyarakat dan agamanya yang juga akan berbuah pahala bagi kedua orang tuanya.

Pendidikan yang pertama kali diberikan kepada anak adalah pendidikan akidah, ibadah dan akhlak. Pendidikan ini menurut imam Al Ghazali hukumnya fardhu ‘ain, setiap Muslim harus mendapatkannya. Adapun pendidikan yang bersifat skill dan keterampilan duniawi yang selanjutnya berbentuk profesi seperti dokter, insinyur dan sebagainya hukumnya fardhu kifayah. Seorang Muslim boleh berprofesi apa saja, namun ia harus terlebih dahulu menjadi Muslim yang sebenarnya, yang memiliki akidah, ibadah dan akhlak yang baik dan tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Pendidikan manusia sejatinya bersifat integral. Tidak ada terjadi ketimpangan antara satu aspek dengan yang lainnya. Kita pernah mengenal konsep IMTAK dan IPTEK yang merupakan sebuah upaya integrasi untuk menghasilkan SDM unggulan. Unggul secara moral spiritual maupun sains dan teknologi. Keterpaduan dalam pendidikan seperti ini bila berjalan dengan baik akan mampu menghasilkan orang-orang pintar yang baik, atau orang-orang baik yang pintar. Dua tipe inilah yang diharapkan mampu menebar rahmat kebaikan. Dan dua tipe ini secara tersirat adalah harapan dalam doa yang seringkali kita baca: “Ya Allah karuniakanlah kami kebaikan baik di Dunia maupun di Akhirat”.

Berdasarkan konsep pendidikan Islam maupun nasional yang tertera pada UUD 1945, tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Bahkan, di dalam konsep Islam, Rasulullah mengatakan, barang siapa yang mencari ilmu untuk tujuan dunia semata. Maka dia tidak akan mencium bau Surga. Jadi, yang terpenting meluruskan niat dulu untuk belajar ilmu agama. Mereka yang belajar ilmu agama, juga ke depannya bisa menjadi kiai, dai, ustadz dan cendikiawan Muslim. Mereka yang akan melanjutkan perjuangan umat.

Tak kalah pentingnya dalam rangka mewujudkan pendidikan berorientasi Surga itu kuncinya adalah mengubah fungsi guru dan dosen bukan hanya sekadar penyampai informasi. Yang paling penting adalah menjadi contoh suri tauladan, menjadi motivator dan inspirator. Selama guru hanya jadi pengajar, penyampai informasi saja, dia akan digulung, akan kalah dengan artificial intelligence, robot pintar. Tapi kalau menanamkan nilai-nilai kebaikan, dia  tidak bisa digantikan oleh teknologi robot.

Pendidikan berorientasi Surga memiliki setidaknya empat aspek adab yang harus dipenuhi; adab kepada Allah, adab kepada orangtua, adab kepada guru dan adab kepada ilmu.

Pertama, adab kepada Allah. Allah Swt telah menciptakan manusia serta memuliakannya dari segenap makhluk. Oleh sebab itu, telah menjadi kewajiban bagi manusia untuk menyembah-Nya, memuliakan-Nya, mengagungkan perintah-perintah-Nya, serta memelihara adab yang baik dengan-Nya. Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:
1. Iman Dan Tidak Kufur kepada-Nya.
2. Syukur Dan Tidak Kufur Nikmat.
3. Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Tidak Melupakan-Nya.
4. Taat Dan Tidak Bermaksiat
5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya.
6. Takut Terhadap Siksa-Nya.
7. Malu Kepada-Nya.
8. Bertaubat Kepada-Nya.
9. Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada-Nya.

Kedua, Adab kepada orangtua. Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita untuk selalu berbakti kepada orang tua, baik itu orang tua sendiri maupun orang tua lainnya. Maka dari itu, terdapat beberapa adab terhadap orang tua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sebagai berikut:
1. Tidak memandang dengan tatapan tajam.
2. Tidak mendahulukan bicara.
3. Berbicara dengan nada yang lembut.
4. Tidak duduk di depan orang tua saat mereka berdiri.
5. Selalu mendahulukan orang tua.
6. Meminta maaf.
7. Selalu berkata baik.
8. Menafkahi orang tua.
9. Selalu mendoakan.
10. Menjaga silaturahmi.

Ketiga, adab kepada guru. Memuliakan guru wajib hukumnya bagi pencari ilmu agar ilmunya berguna dan membawa keberkahan. Imam Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab Fid Din dalam Majmu'ah Rasail Al-Imam Ghazali mengatakan bahwa seorang murid harus memiliki adab yang baik di hadapan guru.
1. Memberi salam mengajarkan kepada murid bahwa yang muda harus menghormati yang tua sebagaimana hubungan antara murid dan guru.
2. Tidak banyak berbicara di depan guru maksudnya adalah bahwa di depan guru seharusnya seorang murid menjaga etika agar tidak menunjukkan kesan lebih tahu dari pada guru.
3. Berdiri ketika guru berdiri dimaksudkan agar ketika guru membutuhkan bantuan tertentu, seorang murid sudah bersiap untuk membantu serta menunjukkan rasa hormat kepada guru.
4. Tidak mengatakan "pendapat fulan berbeda dengan anda" agar murid selalu menempatkan dirinya tawadhu' dan menghargai pendapat gurunya.
5. Tidak bertanya-tanya kepada teman saat guru menyampaikan materi dengan maksud menghindari terjadinya forum dalam forum.
6. Tidak mengumbar senyum ketika guru berbicara dimaksudkan agar tidak terjadi kesetaraan antara murid dan guru yang menjadikan martabat guru lebih rendah.
7. Tidak menunjukkan secara terang-terangan perbedaan pendapat terhadap guru.
8. Tidak menarik pakaian guru ketika berdiri berarti mengajarkan etika yang harus dilakukan oleh seorang murid terhadap gurunya.
9. Tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan sebelum guru sampai di rumah, mengajarkan murid agar memberi waktu kepada guru ketika berada di luar majelis.
10. Tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah, sebab guru juga manusia biasa, maka memberi waktu untuk beristirahat juga sangat penting sebagai seorang murid.

Keempat, adab kepada ilmu. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia. Dia harus mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. Berikut di antara adab-adab yang selayaknya diperhatikan ketika seseorang menuntut ilmu syar’i:
1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu.
2. Rajin berdoa kepada Allah Ta’ala, memohon ilmu yang bermanfaat.
3. Bersungguh-sungguh dalam belajar dan selalu merasa haus ilmu.
4. Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
5. Tidak boleh sombong dan tidak boleh malu dalam menuntut ilmu.
6.  Mendengarkan baik-baik pelajaran yang disampaikan ustadz, syaikh atau guru.
7. Diam ketika pelajaran disampaikan.
8. Berusaha memahami ilmu syar’i yang disampaikan.
9. Menghafalkan ilmu syar’i yang disampaikan.
10. Mengikat ilmu atau pelajaran dengan tulisan.
11. Mengamalkan ilmu syar’i yang telah dipelajari.
12. Berusaha mendakwahkan ilmu.

Demikianlah pendidikan berorientasi Surga. Meniti jalan Surga melalui pendidikan adalah jalan utama meraih Surga Allah SWT. Mulai dengan mengamalkan adab-adab utama; adab kepada Allah, orangtua, guru dan ilmu. Insya Allah, apabila kita memiliki komitmen dan konsistensi yang kuat maka pintu ke Surga terbuka lebar bagi yang mendambakannya.

Orang tua adalah guru utama dalam pendidikan adab yang bermula dari penanaman akidah tauhid. Orang tua menjadi imam dalam ibadah dan teladan dalam akhlak (QS [2]:30-32, [31]:12-19). Nabi SAW menasihati semua orang tua agar peduli akan adab anak-anaknya. "Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka." (HR Ibnu Majah).

Imam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa anak memiliki hak terhadap orang tuanya. "Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik." Sebuah mahfudzat berbunyi, "Li kulli syai-in ziinatul fi-wara, wa ziinatul mar`i tamaamul adabi" yang artinya setiap sesuatu memiliki perhiasan. Dan, perhiasan seseorang adalah kesempurnaan adabnya.

Pendidikan adab bukan hanya sekadar moral atau etika, melainkan kemampuan mengenal Allah SWT dan Rasulnya. Orang beradab dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karenanya, tujuan pendidikan Islam melahirkan manusia yang baik. Disebut orang baik jika ia mengenal Tuhan dan mencintai Nabinya, menghormati para ulama, menghargai ilmu, dan mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi.

Manusia beradab lahir dari pendidikan yang dilandasi ketuhanan, kemanusiaan, kearifan, dan keadilan sosial. Jika semua pemangku kepentingan pendidikan menjalankan perannya, akan lahir anak-anak yang beradab. Namun, jika salah satunya disfungsi, muncul generasi tak beradab. Pendidikan Islami hadir untuk membangun keluarga terbaik (khair al-usrah) sebagai sekolah pertama (al-madrasah al-uulaa) untuk melahirkan pribadi terbaik (khair al-bariyyah).

Kedua orang tua bertindak sebagai guru sekaligus kurikulum berjalan. Namun, bila tidak didukung oleh sekolah kedua (al-madrasah al-tsaniyah), yakni lembaga pendidikan formal dan sekolah ketiga (al-madrasah al-tsaalitsah), yakni lembaga-lembaga sosial, teman sebaya, media massa, dan publik figur, anak akan galau dan disorientasi. Ketiga lembaga ini pun akan berdaya jika dikuatkan oleh kebijakan pemerintah sebagai sekolah keempat (al-madarasah ar-raabi'ah) yang berpihak pada kebenaran dan kemaslahatan.

Namun, kita tidak boleh putus asa menghadapi kondisi seburuk apa pun seraya memohon pertolongan kepada Allah SWT agar anak-anak dijaga dari fitnah dan neraka (QS [66]:6).

Pendidikan di era globalisasi ini menjadi salah satu kunci untuk mencetak menciptakan yang baik. Tantangan pendidikan di era keterbukaan sistem informasi dan komunikasi menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pendidikan, baik yang dilakukan oleh orang tua dan guru di sekolah.

Setiap proses pendidikan adalah untuk melahirkan sumber daya manusia yang cerdas, berakhlak dan lain-lain, serta mampu bersaing di era global saat ini. Kita perlu tahu, kebangkitan kebangkitan sebuah peradaban ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya.

Sistem pendidikan nasional di Indonesia telah memberikan arah dan tujuan yang jelas, proses pendidikan untuk menjadikan manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia dan beradab, berilmu, mandiri serta bertanggung jawab.

setiap pendidik menjadi risih dan menangis atas rusaknya akhlak para guru dan muridnya. Menurut penulis, krisis adab guru dan murid adalah tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini.

Pendidikan Nasional hari mestinya mencetak guru-guru yang beradab dan berakhlak mulia. Pendidik adalah orang tua bagi para muridnya, yang membimbing, mengarahkan dan memberikan teladan yang baik bagi setiap muridnya.

Hal ini juga, telah di sebutkan dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Ada 4 kompetensi guru yang tertuang yaitu pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.

Spirit kepribadian inilah yang mestinya diperhatikan oleh setiap guru. Sebab, mereka akan menjadi contoh bagi para muridnya. Sehingga, akhlak dan adab yang baik harus ada dalam diri setiap pendidik (guru).

Pendidikan saat ini harus menekankan pendidikan adab, agar lahirnya para guru yang beradab melalui kampus-kampus dan melahirkan murid-murid yang beradab pula melalui proses pendidikan di sekolah-sekolah.

Allah subhanahu wa Ta‟ala telah menjelaskan bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk mendatangkan kecintaan dari manusia, sebagaimana firman-Nya berikut.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)

Adab dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan, dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu.

 “Mengenai sebab dalaman dilema yang kita hadapi sekarang bagi saya, masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis yang jelas saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab).” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2011, hal. 129).

Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah dan meletakkan‟-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.

Adab merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan seorang guru dan murid, adab tidak bisa terlepas dalam aktivitas sehari-hari. Ibadah kepada Allah, menghormati guru dan orang tua, bermuamalah. Maka semuanya membutuhkan adab yang baik. Dan para ulama kita dahulu, lebih mendahulukan adab dibandingkan dengan ilmu.

Adab ditampilkan sebagai sikap selayaknya terhadap otoritas yang sah, dan otoritas yang sah mengakui hirarki otoritas yang puncaknya adalah Nabi Muhammad. Pengakuan tersebut adalah dengan penghormatan, cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan yang cerdas atas ketepatan ilmu yang ditafsirkan dan dijelaskan oleh otoritas tersebut. Penghormatan, penghargaan, cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan yang cerdas hanya akan terwujud pada seseorang jika ia mengakui hakikat bahwa ada suatu hirarki dalam tingkatan manusia dan dalam otoritas mengikuti kecerdasan, ilmu spiritual, dan budi pekerti.

 Maka dari itu, krisis adab yang di alami oleh guru dan murid harus di tanamkan dan di ajarkan di kampus dan sekolah-sekolah. Tugas besar bagi para orang tua dan pendidik adalah memberikan arahan terhadap murid tentang klasifikasi ilmu yang di pelajari. Lebih mendahulukan ilmu yang sifatnya fardhu ain daripada fardhu kifayah.

 Teladan dalam mempelajari adab lebih di dahulukan di bandingkan dengan ilmu. Telah di lakukan oleh para ulama dan tokoh-tokoh cendekiawan muslim dahulu, di antaranya.

 Imam Ibnul Mubarak berkata, “Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.”

 Imam Ibnu Wahab berkata, “Aku lebih mengutamakan belajar adab kepada Imam Malik dibandingkan dengan belajar ilmu darinya.”

 Imam Abu Hanifah (Imam Hanifah) berkata, “Kisah-kisah tentang kehidupan para ulama dan duduk dalam majelis mereka lebih aku sukai dari mempelajari banyak ilmu, karena kisah-kisah itu penuh dengan ketinggian adab dan akhlak mereka.”

 Olehnya itu, apabila sekarang di dunia pendidikan Indonesia sedang ramai menggalakkan pendidikan berkarakter, maka akan timbul pertanyaan, “Apakah cukup?”

Sekarang kata “akhlak” diganti dengan kata “karakter”. Karakter diartikan sebagai ciri

yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tetapi karakter juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara drama atau lakonan.

 Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Sangat manusiawi tetapi tidak mesti berdimensi Ilahi. Seseorang bisa berkarakter tetapi belum tentu beradab.

Pemimpin berkarakter jika ia seorang yang tekun, berwibawa, santun dengan masyarakat, namun ia tidak beradab jika melegalkan judi, minuman keras, tempat prostitusi, kesyirikan dan sebagainya. Sebab itu, pendidikan karakter saja tidak cukup bagi peserta didik tetapi pendidikan adab juga sangat di butuhkan.

 Ruh pendidikan kita mesti di tarik kembali kepada akarnya, bahwa peserta harus memiliki akhlak, adab yang baik setelah melewati proses pendidikan di sekolah dan kampus.

 Peran guru, orang tua dan masyarakat sangat menentukan kualitas dan keberhasilan menanamkan nilai-nilai adab bagi para anak didik. Dengan tetap berjalannya proses pendidikan di sekolah-sekolah dan kampus, semoga guru dan murid menjunjung tinggi nilai-nilai adab dan dapat melahirkan generasi yang beriman, bertakwa, beradab, cerdas dan kreatif mandiri sebagai titian jalan menuju Surga yang didambakan.

 Serta, memulainya dengan memperbaiki kualitas pengajaran di kampus-kampus kita. Sebab, para alumni kampuslah yang akan menjadi pendidik bagi anak-anak didik di sekolah.



Tags:

Dipost Oleh Ustdz. Wildan Hasan

(0) Comments

Leave a Reply